Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143 Tahun 2023 (PMK 143/2023), pemerintah secara resmi memberlakukan pajak atas rokok elektrik. Pajak atas rokok elektrik akan dikenakan sebesar 10% dari cukai rokok elektrik.
Sesuai amandemen UU Cukai melalui UU HPP, rokok elektrik termasuk produk hasil tembakau yang termasuk barang kena cukai. Konsekuensinya, rokok elektrik termasuk objek pajak rokok, karena pajak rokok merupakan pungutan atas cukai rokok (piggyback taxes).
Pajak rokok termasuk salah satu jenis pajak daerah. Pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bersamaan dengan pemungutan cukai rokok pada saat pemesanan pita cukai. Merujuk Pasal 5 ayat (7) PMK 143/2023, jika tidak membayar pajak rokok, DJBC berhak untuk tidak memberikan pelayanan atas pita cukai.
Pengenaan pajak rokok elektrik sejatinya upaya pemerintah untuk menjaga level playing field antara rokok konvensional dengan rokok elektrik. Pajak rokok elektrik diharapkan bisa meningkatkan aspek keadilan, mengingat produksi rokok konvensional juga melibatkan petani tembakau dan buruh pabrik, yang telah dikenakan pajak rokok sejak tahun 2014.
Mengutip siaran pers Kementerian Keuangan, penerimaan cukai rokok elektrik pada tahun 2023 hanya sebesar Rp1,75 T atau hanya sebesar 1% dari total penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dalam setahun. Meskipun begitu, cukai serta pajak rokok sejatinya bertujuan untuk membatasi konsumsi rokok. 50% dari penerimaan pajak rokok ini diatur penggunaannya (earmarked) untuk pelayanan kesehatan masyarakat, serta penegakan hukum terkait beredarnya rokok ilegal, yang mendukung pelayanan publik yang lebih baik di daerah.